FENOMENA
MULTI PARTAI DAN KERAWANAN KONFLIK LINTAS AGAMA MENJELANG PEMILU TAHUN 2009
|
FENOMENA
MULTI PARTAI DAN KERAWANAN KONFLIK LINTAS AGAMA
MENJELANG PEMILU TAHUN 2009
Oleh:
A.
Pendahuluan
Sistem demokrasi
akan selalu menggunakan Pemilihan Umum (Pemilu) sebagai sarana suksesi
kepemimpinan secara regulatif. Indonesia sebagai negara yang
menganut sistem demokrasi, tidak Setiap negara yang menganut luput dari
pelaksanaan pemilu. Dari sejak berdiri sampai saat ini kita sudah
menyelenggarakan pemilu sebanyak Sembilan kali, masing-masing pemilu
tahun 1955 sebagai pemilu pertama pasca kemerdekaan, pemilu tahun 1971, 1977,
1982, 1987, 1992, 1997, 1999 dan 2004. Pemilu 9 April 2009 adalah pemilu kesepuluh
yang akan dilaksanakan oleh bangsa Indonesia.
Sejarah
mencatat bahwa setiap kali pemilu digelar, selalu ditandai oleh peningkatan
ekskalasi suhu politik, ketegangan dan konflik baik yang bersifat vertikal
maupun horizontal, walau dengan tingkat intensitas yang berbeda. Pemilu
pertama tahun 1955 yang menurut pandangan Herbert Faith (1999) dianggap
sebagai pemilu yang paling luber dan demokratis, tidak luput dari konflik
horizontal di tingkat masyarakat. Hal ini terjadi pula dalam pemilu
1971 yang diikuti oleh 11 partai politik. Banyaknya partai politik pada saat
itu dianggap membawa kerawanan konflik tersendiri ditengah-tengah
masyarakat. Maka pada tahun 1973 diadakan penyederhanaan partai politik
dengan dilakukan fusi terhadap partai politik menjadi tiga. Fusi ini
mendasarkan pada ideologi dan asas ciri partai politik yang ada pada saat itu
yakni PPP dengan menggabungkan partai yang beraliran Islam dan PDI
sebagai wadah partai yang beraliran nasionalis. Sedangkan Golkar merupakan
penggabungan dari kelompok kekaryaan (Sekber Golkar). Praktis dari pemilu
1977 sampai dengan pemilu 1997 peserta pemilu diikuti oleh 2 partai politik
dan Golongan Karya. Masa ini dianggap sebagai era Orde Baru.
Jatuhnya
rezim Orde Baru oleh gerakan reformasi, diharapkan membawa angin segar
dalam perubahan tatanan kehidupan politik yang demokratis. Era ini telah
membuka kembali kran demokrasi yang sempat tersumbat melalui perubahan
perangat peraturan di bidang politik. Pada masa orde Baru yang menganut
sistem multi partai sederhana, dengan perubahan UU politik memberikan peluang
pada sekelompok warganegara dengan jumlah tertentu untuk mendirikan partai
politik, maka pemilu 1999 yang dipercepat dari jadwal diikuti oleh 48 parpol
telah berhasil menorehkan sejarah baru dalam proses berdemokrasi. Begitupun
dalam pemilu 2004 dengan sistem multi partai yang diikuti 24 parpol dapat
berjalan aman, damai dan demokratis. Akankah pemilu 2009 dapat berjalan
lebih berkualitas dalam artian demokratis, free dan fair?
Jawabnya tentu sejauh mana steakholder atau para pemangku kepentingan
dalam pemilu dapat menjalankan tugas, fungsi dan kewenangannya untuk menopang
suksesnya pemilu. Salah satunya bagaimana partai politik peserta pemilu
yang jumlahnya selaksa ini dapat memposisikan diri sebagai bentuk organisasi
modern, tidak terjebak pada politik aliran dan bergerak kearah pematangan
ideologi bangsa .Pertanyaan ini tetap relevan untuk diangkat mengingat
fenomena kerawanan konflik tetap saja bermetamorfosis dari pemilu ke pemilu.
Hal ini
dapat dipahami karena dalam pemilu tingkat kompetisi antar partai politik
peserta pemilu untuk mempengaruhi konstituen dan merebut kekuasaan sangat
terbuka. Tidak jarang praktik-praktik politiking, penggiringan massa, dan
upaya mempengaruhi masa dilakukan dengan cara-cara yang kurang mengindahkan
etika dan sopan satun politik, seperti dengan mempolitisasi simbol-simbol
agama dan menjadikan agama sebagai alat politik praktis (depolitisasi
agama) dapat menyeret arah konflik politik ke konflik agama patut
diwaspadai. Kalau hal itu bernar terjadi kita hanya akan tahun
kapan mulainya dan tidak akan pernah tahu kapan berakhirnya.
Untuk itulah kerawanan konflik lintas agama dalam pemilu 2009
ditengah-tengah sistem multi partai tetap urgen untuk dicermati.
Donal. K. Emerson
dalam sebuah diskusi di Jakarta sebagaimana dikutip di harian Kompas,
memperingatakan kepada para pemimpin dan elit politik bahwa, bangsa Indonesia
telah memasuki periode yang Peringatan sangat berbahaya. Jangan sampai rakyat
berkesimpulan bahwa demokratisasi yang sedang berlangsung hanya menghasilkan
kemerosotan ekonomi, perpecahan, saling menuduh, saling membunuh, tidak
ada konsensus apalagi koalisi yang akan membawa kestabilan. Pakar politik
dari University of Winconsin ini lebih lanjut mengatakan,
semakin menjalarnya krisis di negara ini, besar kemungkinan rakyat akan
bertanya, inikah hasil demokratisasi? rakyat bisa saja menyimpulkan secara
sederhana, sebaiknya demokrasi dibuang saja dan mereka menginginkan kembali
ke zaman normal tanpa demokrasi. Kalau ini terjadi, pertanda buruk bagi
matinya sebuah demokrasi.
Untuk itu
makalah singkat ini mencoba untuk menguak fenomena tersebut dengan
menggunakan pendekatan sosiologi politik dengan menguraikan makna pemilu,
keberadaan partai politik sebagai peserta pemilu, konflik latent dan manifest
yang menghantui penyelenggaraan pemilu serta langkah-langkah antisipatf
yang kiranya dapat dilakukan agar dapat mencegah kerawanan konflik lintas
agama tidak terjadi.
B. Pemilu Sebagai Sarana Demokrasi
Ramlan Surbekti
dalam tulisannya di Jurnal Ilmu Pemerintahan Edisi 19 Tahun 2003 mengatakan,
penyelenggaraan pemilihan umum anggota legislatif dan kepala pemerintahan
baik dipusat maupun di daerah secara bebas dan adil merupakan unsur penting
sistem politik demokrasi. Pemilu dipandang sebagai sarana yang efektif untuk
mengimplmentasikan sistem politik yang demokratis. Ada empat alasan yang
melatari hal tersebut ;
Sesungguhnya,
tujuan dilaksanakan pemilu adalah untuk memilih pemimpin yang memiliki
integritas, kridibel, akuntabel dan partisipatif. Pemilu merupakan
saluran untuk menyampaikan aspirasi dan perbedaan kepentingan yang
terjadi ditingkat masyarakat yang disalurkan melalui partai politik.
Pemilu merupakan media untuk melembagakan perbedaan kepentingan dimana
kompetisi diatur secara konstitusional. Diharapkan konflik of imterest
tersalurkan melalui kanal partai politik. Partai politik sebagai
organisator kepentingan masyarakat memiliki asas, ciri dan ideologi
dapat berkompetisi secara free dan fair dengan cara-cara
yang damai dan beradab.
Untuk
mewujudkan harapan tersebut, perubahan dan perbaikan aturan menyangkut partai
politik dan pemilu yang terangkum dalam paket UU dibidang politik terus
dilakukan. Perubahan ini dimaksudkan agar regulasi dibidang politik dapat
menumbuhkan iklim politik yang kondusif. Sehingga pemilu tidak hanya sekedar
prosedur demokrasi, jauh dari itu sebagai sarana untuk mewujudkan demokrasi
yang substansial.
PERBANDINGAN MATERI UNDANG UNDANG PEMILU
C.
Fenomena Multi Partai Dalam Pemilu Tahun 2009
Sebagai
pengajawantahan hak-hak politik tersebut, setiap warga negara yang telah
memenuhi persyaratan diberikan kebebasan membentuk, memelihara dan
mengembangkan partai politik sebagai pilar demokrasi. Melalui
partai politik rakyat dapat mewujudkan haknya untuk menyatakan pendapat
tentang arah kehidupan dan masa depannya dalam bermasyarakat dan
bernegara.Partai politik merupakan komponen yang sangat penting dalam sistem
demokrasi. Sebagai tiang penyanggah bagi tegakknya kedaulatan
rakyat, tumbuhnya partisipasi masyarakat dalam mengembangkan kehidupan
demokrasi yang menjunjung tinggi kebebasan, kesetaraan dan kebersamaan.
Melalui
kebebasan yang bertanggungjawab segenap warganegara memiliki hak untuk
berkumpul Sebagai negara yang menganut paham demokrasi, Undang Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjamin kemerdekaan setiap warga negara
untuk berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat sebagai bagian
dari hak asasi manusia dan untuk mewujudkan kehidupan kebangsaan yang kuat
dalam Negara Kesatua Republik Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat,
demokratis, dan berdasarkan hukum.
dan
berserikat guna mewujudkan cita-cita politiknya secara nyata. Kesetaraan
merupakan prinsip yang memungkinkan segenap warganegara berpikir dalam
kerangka kesedarajatan sekalipun kedudukan, fungsi dan peran masing-masing
berbeda. Kebersamaan merupakan wahana untuk mencapai tujuan berbangsa dan
bernegara sehingga segala bentuk tantangan lebih mudah dihadapi. Untuk
mewujudkan cita- cita politiknya, melalui pemilihan umum partai politik
diberikan kesempatan memperjuangkan kepentingan
rakyat secara luas, mengisi lembaga-lembaga negara dan untuk membentuk
pemerintahan.
Sebagaimana
diatur dalam Undang Undang Nomor 31 Tahun 2002 Tentang Partai Politik,
bahwa setiap partai politik harus memiliki badan hokum. Untuk mendapatkan
badan hokum harus memenuhi ketentuan Undang Undang yang nantinya diferifikasi
oleh departemen Hukukm dan Hak Asasi Manusia. Sedangkan bagi partai politik
yang telah berbadan hokum tidak serta merta dapat menjadi peserta Pemilihan
Umum. Untuk menjadi peserta pemilihan umum Sebagai pengajawantahan hak-hak
politik tersebut, setiap warga negara yang telah memenuhi persyaratan
diberikan kebebasan membentuk, memelihara dan mengembangkan
partai politik sebagai pilar demokrasi. Melalui partai politik rakyat
dapat mewujudkan haknya untuk menyatakan pendapat tentang arah kehidupan dan
masa depannya dalam bermasyarakat dan bernegara.
D. Kerawanan Konflik dalam Pemilu
Secara
sosiologis, konflik dan konsensus merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari sisi kehidupan manusia bermasyarakat. Di katakan, konflik
merupakan aspek interinsik kehidupan dan tak mungkin dihindari dalam
perubahan sosial. Merupakan ekspresi heterogenitas kepentingan, nilai
dan keyakinan yang muncul sebagai formasi baru yang ditimbulkan oleh
perubahan sosial yang muncul bertentangan dengan hambatan yang diwariskan
(Hugh Miall, 2000). Konflik merupakan perwujudan dari adanya pertentangan dua
hal atau lebih yang berbeda. Atau dengan perkataan lain dapat pula
disebut bahwa konflik merupakan manifestasi lebih lanjut dari adanya
ketidaksamaan.
Intensitas
konflik akan sangat dipengaruhi oleh kompleksitas kepentingan, nilai dan
keyakinan yang berkembang dalam pergerakan ruang dan waktu. Pada masa
lalu ketika manusia tunduk pada kekuatan alam maka konflik
menusia dihadapkan pada perjuangan hidup melawan seleksi alam. Charles Darwin
pada abad 19 menujukan fenomena lingkup organisme dalam sebuah “survival
of the fittest”, hanya mereka yang lolos dari seleksi alam yang dapat
mempertahankan hidupnya. Maka setiap mahluk hidup lebih-lebih manusia akan
melaukan “struggle for life”, perjuangan untuk mempertahankan hidupnya
(Mudji Sutrisno. 2001).
Memasuki
revolusi industri wajah konflik lebih diwarnai oleh pertentangan kelas atara
kelompok kapitalis dan proletar. Perbedaan dan pertentangan ini kemudia
bermetamorposisis kedalam bentuk dan ruangnya seperti negara dengan rakyat,
antar kelompok dan seterusnya.
Terhadap realita sosial
seperti itu, apa yang mesti kita lakukan terhadap berkembangnya berbagai
konflik tersebut. Menghilangkan sama sekali tentu tidaklah mungkin
kartena eksistensi manusia justru tercemin dari konflik itu sendiri. Dinamika
dan perubahan sosial yang terjadi justru karena adanya konflik. Namun
membiarkan konflik itu berkembang juga akan sangat berbahaya. Karena konflik
yang membesar dan meluas dengan intensitasnya yang tinggi justru akan
mengganggu rotasi kehidupan dan bahkan bias mengancam kehidupan dan peradaban
itu sendiri. Terjadinya perang antar kelompok, suku, negara merupakan contoh
dari konflik yang tak terkendali itu.
Analogi
Albert Camus yang menggambarkan hidup penuh konflik ini sebagai
digambarkan dalam mitos Yunani Le Mythe de Sisyphe,
menggambarkan kegigihan Sisyphus yang terus menerus mendorong batu kepuncak
gunung dengan tersenyum dan habis-habisan sekalipun tiap kali batu itu
didorong, menggelinding lagi ke bawah. Tampaknya dapat dijadikan alternatif
dalam mengelola konflik sehingga dapat mengalirkan energi posisitif bagi
kehudupan bersama.
Identifikasi
konflik secara lebih simple dilakukan oleh Mourice Duverger,
Menggolongkan munculnya konflik menjadi dua katagori, yakni (1)
sebab-sebab individu; hal ini terjadi berkaitan dengan
bakat alamiah yang ada pada diri manusia, kecendrungan ini dapat dipahami
melalui pandangan Carles Darwin “surviveal of the vittes”. (2)
sebab-sebab kolektif hal ini terjadi lebih disebabkan oleh adanya kesenjangan
struktural dalam kehidupan masyarakat baik yang disebabkan oleh faktor
sosial, ekonomi dan politik. Dalam hal ini adanya ketidak setaraan,
ketidak adilan dan eksploitasi antara satu dengan yang lainnya merupakan
penyebab utama terjadinya konflik.
Berkenaan
dengan pandangan tersebut kerawanan konflik lintas agama dalam system multi
partai pada pemilu 2009 dapat saja terjadi dan didorong oleh sebab-sebab
individu, caleg dari partai tertentu menggunakan agama sebagai alat politik
untuk dapat melakukan mobilisasi solideritas dikalangan umatnya. Bisa saja
disebabkan oleh upaya kolektif yakni dari partai dengan mengusung
symbol-simbol agama, lalu dibenturkan dengan symbol yang lain, atau saling
klaim atas symbol-simbol yang diyakini dapat meraup masa dengan mudah, cepat
dan murah melalui klaim kolektivitas dan solideritas agama.
Wujud dari
kerawanan konflik itu sendiri dapat dibedakan menjadi konflik
dengan kekerasan (violent) dan konflik tanpa kekerasan (non-voilent).
Konflik dengan kekerasan ini terjadi apabila cara-cara konvensional penyelesaiannya
tidak mampu mengatasi perselisihan yang terjadi, hal ini diekspresikan
melalui tidakan yang brutal, penggunaan kekerasan lainnya. Sedangkan
yang kedua lebih memilih cara-cara konvensional dalam menyelesaian
perselisihan.
Sedangkan
menurut sifatnya, konflik yang terjadi dapat dikelompokkan
menjadi tiga yakni ; (1) konflik yang terjadi tidak mempunyai dasar
yang sifatnya prinsipil; (2) konflik yang terjadi menyangkut
bagian-bagian dari prinsip tetapi tidak mengenai prinsip itu sendiri;
(3) konflik itu terjadi bertolak dari suatu prinsip yang mendasar. Maka
kerwanan konflik dalam pemilu 2009 dapat terjadi dari salah satu dan
atau akumulasi dari dua atau ketiganya diatas.
Dalam
konteks sistem multipartai dan penentuan caleg terpilih dilakukan dengan
suara terbanyak, maka kerawanan konflik akan bervariasi. Akan terjadi saling
silang antara individu, partai, lembaga penyelenggara. Diinternal partai,
akan terjadi perebutan suara pendung di masing-masing basis dukungan partai
politik. Ekskalasinya akan meningkat ketika penghitungan suara di TPS.
Klaim-klaim dukungan ini menjadi titik rawan tersendiri bentuknya akan
terjadi ketegangan antara calon dengan calon . Partai dengan partai
politik lainnya, partai dengan penyelenggara, calon dengan penyelenggara dan
masih banyak varian konflik lainnya yang terakomulasi.
E. Antisipasi Kerawanan Konflik dan Resolusinya
dalam Pemilu 2009
Uraian di
atas lebih memberikan gambaran normatif atas fenomena konflik yang terjadi
pada masyarakat sebagai suatu realita yang tak dapat dihindari. Sebagai
diskripsi normatif keberadaan konflik, faktor penyebab dan bentuk serta
sifatnya merupakan realita sosiologi yang selalu hadir ditengah
kihidupan walau di beberapa tempat dan dalam kurun waktu tertentu
menunjukkan perbedaan ritme dan intensitas. Hal ini tentu sangat tergantung
pada tingkat kompleksitas kebutuhan, kepentingan dan heterogenitas nilai,
struktur dan kultur masyarakat yang membingkainya.
Sebagaimana
pengalaman dari pemilu ke pemilu, tingkat kerawanan konflik intensitasnya
relatif meningkat. Karena dalam momentum pemilu, berbagai kepentingan saling
bertemu dan beradu dalam suatu kompotisi. Terbatasnya kursi kekuasaan, dan
membludaknya peminat kekuasaan, menjadikan partai dan para calon legislatif
saling berlomba dan berusaha memenangkan persaingan. Tidak jarang lalu mereka
menggunakan cara-cara yang keluar dari koridor hukum, norma dan etika. Gaya
politik marchiavelisme kerap dipertontonkan. Ini mengandung kerawanan konflik
yang sangat tinggi.
Terkait
dengan merebaknya konflik yang terjadi, hal yang terpenting untuk
diperhatikan adalah mencari penyebab kemunculannya. James C Davis
menyebabutkan penyebab terjadinya konflik karena adanya jurang pemisah
antara harapan dan kenyataan, atau menurut Robert Gurr (Dalam Haryanto,
1990)disebut sebagai “Relative Deprivation” terjadinya kesenjangan
antara “nilai yang diharapkan” dan “nilai kapabilitas”, baik yang bersifat Decremental
Deprivation (nilai yang diharapkan stabil sementara nilai kapabilitas
menurun), Aspiration deprivation (nilai yang diharapkan
naik, nilai kapabilitas statis), maupun Progresive deprivation (kedua
nilai sama-sama naik namun pada saat tertentu nilai kapabilitas statis bahkan
cendrung turun).Hal ini akan menjadikan masyarakat mengalami kekecewaan dan
prustasi yang pada akhirnya akan memunculkan tindakan melawan atau
memberontak.
Manajemen
konflik merupakan regulasi konflik sebagai upaya penanganan
konflik secara positif (Hugh Miall, 2000). Manajemen konflik itu sendiri
lahir dari kesadaran bahwa konflik merupakan realitas sosial yang memang tak
terbantahkan. Sebagai aspek intrinsik dari perubahan sosial itu sendiri.
Sebagai realita sosial konflik mestinya dapat dimenej dengan
sebaik-baiknya sehingga kenflik yang ada dapat dikembangkan dari kekawatiran
akan terjadinya divergensi ke konvergensi. Artinya bagaimana kita dapat
memanfaatkan konflik bagi perkembangan kearah yang lebih baik ketimbang
menimbulkan tindakan destruktif.
Untuk
melakukan menajemen konflik, ada beberapa upaya yang dapat dilakukan agar
konflik yang terjadi dapat dikendalikan. Langkah-langkah tersebut meliputi ;
PENCEGAHAN
Formasi Konflik
PEMBENTUKAN
Perubahan
Konflik dgn MENJAGA
PERDAMAIAN
sosial
kekerasan PERDAMAIAN
Transformasi
Konflik
MEMBUAT PERDAMAIAN
Secara sistemik,
holistik, integrated dan partisipatif perlu kiranya dibangun sistem
integrasi nasional untuk mencegah terjadinya kerawanan konflik yang
mengarah pada disintegrasi bangsa. Aspek-aspek yang patut mendapatkan
perhatian diantaranya: :
Kita
berharap, pemilu 2009 dengan system multi partai dapat berjalan aman, damai
dan demokratis, menuju proses pendewasaaan dan percerdasan politik dan dapat
berjalan aman, damai dan demokrasi.
REFERENSI
Duverger
Maurice, 1981, Sosiologi Politik, Rajawali, Jakarta.
Haryanto,
1990, Elit, Massa, dan Konflik, PAU-Studi Sosial, Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta.
Miall,
Hugh Dkk, 2000, Resolusi Damai Konflik Kontemporer, Rajawali Press,
Jakarta.
Nasikun,
1974, Sebuah Pendekatan Untuk Mempelajari Sistem Sosial Indonesia,
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Sutrisno,
Mudji, 2001, Humanisme, Krisis, Humanisasi Penerbit Obor, Jakarta.
mediator ;
b. Menganalisis konflik yang terjadi dengan melihat
formasi konflik muncul dari perubahan social, kemudian membawanya menuju pada
proses transformasi konflik kekerasan atau konflik tanpa kekerasan dan
melahirkan perubahan social lebih jauh dimana individu atau kelompok yang
ditekan atau disingkirkan dapat muncul untuk mengartikulasikan kepentingan
mereka dan menantang norma-norma dan struktur kekuasaan yang ada. Atas
fenomena ini perkembangan konflik semacam itu dapat diatasai melalui
penyelesaian konflik, sebagai berikut :
PENCEGAHAN
Formasi Konflik
PEMBENTUKAN Perubahan Konflik dgn
MENJAGA
PERDAMAIAN sosial kekerasan
PERDAMAIAN
Transformasi
Konflik
MEMBUAT PERDAMAIAN
Secara
sistemik, holistik, integrated dan partisipatif perlu kiranya dibangun sistem
integrasi nasional untuk mencegah terjadinya kerawanan konflik yang mengarah
pada disintegrasi bangsa. Aspek-aspek yang patut mendapatkan perhatian
diantaranya: :
1. Aspek ideologis, perlu melakukan reorientasi
ideologis bagi seluruh komponen bangsa dalam mervitalisasi kembali semangat
dan komitmen kebangsaan sebagai satu kesatuan yang utuh satu dengan yang
lainnya. Pancasila sebagai ideologi bersama merupakan perekat,pemersatu
bangsa yang niali-nilainya terbangun dari semangat Bhineka Tunggal Ika.
Semangat ini mengandung makna mendalam bahwa bangsa ini memiliki
karakteristik yang berbeda baik Ras, Suku, Agama maupun antar golongan.
Pengakan atas adanya perbedaan inilah kemudian disatukan dalam bentuk
ideologi bersama dengan dijiwai semangat nasionalisme dan kebangsaan.
2. Aspek politik, melakukan pembangunan politik yang
demokratis dan partisipatif, dengan memberikan ruang yang lebih luas kepada
masyarakat dalam mengekspresikan kebebasan politik dengan disertai
tanggungjawab. Model kebebasan yang bertanggungjawab dalam kehidupan politik
erat kaitannya dengan pemahaman model demokrasi konsensiusnes yakni suatu
model demokrasi dengan mengadopsi pluralitas masyarakat dengan memberikan
ruang yang lebih luas kepada semua ras,suku, golongan tanpa harus terjebak
pada pola pikir mayoritas dan minoritas. Begitupun dengan kehadiran partai
politik sebagai kelompok kepentingan, birokrasi sebagai pelayan dan
pemberdayaan masyarakat mestinya dapat mencerdaskan kehidupan politik rakyat
dengan berpedoman pada nilai-nilai kebersamaan, persatuan, nasionalisme dan
kebangsaan. Pelaksanaan otonomi daerah yang belakangan dianggap sebagai biang
kerok dari gejala disintegrasi bangsa mestinya dipahami sebagai bentuk
distribution of autority, dari pemerintah pusat kepada pemerintah di daerah
sesuai dengan semangat desentralisasi untuk dapat lebih memudahkan pemerintah
dalam memberikan pelayanan secara mudah, cepat dan murah kepada rakyat.
Dengan penerapan otonomi yang benar justru akan menjadi alat perekat bagi
integrasi nasional.
3. Aspek sosial dan budaya, perlu ditumbuhkan
kesadaran baru bagi segenap anak bangsa akan realitas sosial dan budaya
Indonesia yang dirajut dari puncak-puncak kebudayaan daerah. Kesadaran ini
akan dapat memberikan pemahaman akan adanya perbedaan karakteristik yang
secara terus didialogkan untuk mendapatkan kesepakatan-kesepatan sosial yang
baru sebagai wujud revitalisasi sosial dan budaya yang bersifat dinamis. Maka
menumbuhkan kembali pembudayaan ideologi bersama, rasa senasib dan
sepenanggungan, solideritas, satu dalam perbedaan dan berbeda dalam persatuan
merupakan klangkah strategis yang patut dilakukan.
4. Aspek ekonomi, tantangan global dengan semangat
kapitalisme internasional yang belakangan mulai merambah dalam setiap sudut
kehidupan mesti disikapi dengan memperkuat basis ekonomi kerakyatan dengan
sebisa mungkin mengurangi disparitas sosial dan ekonomi antara rakayat dan
para konglemerat. Upaya ini sdapat dilakukan dengan memberikan perlindungan
dan kesempatan baik dalam bentuk akses kekuasaan melalui kebijaksanaan maupun
akses ekonomi (konsumsi, produksi dan distribusi) kepada pengusaha kecil,
menengah dan koperasi dapat bergerak lebih leluasa dalam memanfaatkan sumber-sumber
perekonomian masyarakat.
5. Aspek Pertahanan dan Keamanan, TNI/Polri sebagai
garda terdepan pertahanan dan keamanan mestinya diarahkan pada usaha
mewujudkan sistem pertahanan yang sistematis dan profesional. Sebagai alat
pertahanan dan keamanan sudah semestinya meninggalkan gelanggang politik
praktis. Menjadikan keutuhan, persatuan dan kesatuan bangsa sebagai harga
mati yang tak bisa ditawar-tawar.
Kita berharap, pemilu 2009 dengan
system multi partai dapat berjalan aman, damai dan demokratis, menuju proses
pendewasaaan dan percerdasan politik dan dapat berjalan aman, damai dan
demokrasi.
REFERENSI
Duverger Maurice, 1981, Sosiologi
Politik, Rajawali, Jakarta.
Haryanto, 1990, Elit, Massa,
dan Konflik, PAU-Studi Sosial, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Miall, Hugh Dkk, 2000, Resolusi
Damai Konflik Kontemporer, Rajawali Press, Jakarta.
Nasikun, 1974, Sebuah
Pendekatan Untuk Mempelajari Sistem Sosial Indonesia, Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Sutrisno, Mudji, 2001, Humanisme,
Krisis, Humanisasi Penerbit Obor, Jakarta.
|
Copyright
2010, Yayasan Kesejahteraan Korpri Provinsi Bali, Design and maintenance by
Medion Technocentra
Tidak ada komentar:
Posting Komentar